Rabu, 22 September 2010

LARANG MOTOR, EKONOMI MACET

2010-08-27 22:21:04
540001-macet-boyo.jpgSaat ini motor adalah alat transportasi paling ideal. Hemat waktu dan bahan bakar. Itu selagi transportasi massal kacau dan tidak manusiawi. Bicara macet, biang kemacetan bukan hanya motor. Tapi, semua yang berkaitan dengan lalu lintas. Sarana, prasarana, sampai manusianya dan Undang Undangnya. Jadi, bukan hanya motor penyebabnya.

Pengendara Jakarta, jelas menolak keras kebijakan yang hendak dilaksanakan Pemerintah DKI Jakarta dan Kepolisian Metro Jaya. Ini kebijakan yang nggak masuk akal. “Pakai motor efisien. Pengeluaran transportasi jauh lebih hemat,” papar Rifki, pekerja yang menunggang motor di Jl. Sudirman, Jakarta.540102-macet-gt.jpg

Mohon maaf buat Direktur Lalu Lintas Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes, Condro Kirono. Keinginan Bapak membatasi motor, kurang sesuai fakta. “Betul, akan dibatasi setelah Lebaran 2010 nanti. Kami sedang membahasnya dengan pemerintah daerah,” ujar Kombes Condro Kirono, saat gelaran kompetisi instruktur Safety Riding Honda 2010 di Kemayoran, Jakarta Pusat.

Katanya, saat ini, daya dukung infrastruktur jalan DKI hanya mampu menampung 1,05 juta kendaraan. Panjang jalan 7.650 km dan luas 40,1 km atau 6,2 persen dari luas DKI. Sedang pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen per tahun.

Masih menurut Condro, pembatasan untuk menekan tingkat kemacetan di Jakarta yang parah. Jika tidak ada upaya tersebut Jakarta bakal lumpuh di 2014. “Keluar rumah tidak bisa ke mana-mana lagi,” katanya ikutan bingung.

540203-macet-gt.jpgPernyataan ini makin menegaskan, pengendara adalah golongan yang semakin dipinggirkan. Banyak pihak menuding penyebab kemacetan karena ulah dari pengendara motor yang seenaknya.

Eits.. ntar dulu pak! Urusan disiplin nyaris semua pamakai jalan Jakarta sulit mematuhinya. Termasuk angkot, mobil pribadi sampai grobak sayur. Persoalan, seperti ‘keindahan’ kota tanpa motor, itu tendensius. Contoh, jika transportasi massal rapi dan nyaman, tanpa dilarang pun, pengendara akan pindah sendirinya. Bukan hanya pengendara motor, pemilik kendaraan roda empat juga ikut.

Tahu kah bapak berapa banyak pekerja di wilayah yang akan dilarang itu? Lalu dengan apa pekerja kelas bawah ini nanti akan menuju kantornya? Bagaimana juga dampak pelarangan ini terhadap kegiatan ekonomi Jakarta?

Julius Aslan, Direktur Marketing PT Astra Honda Motor (AHM), yakin motor itu multiguna. “Selain sebagai alat transpotasi masyarakat Indonesia, juga sebagai alat produktivitas. Sebagian besar motor untuk bekerja, mengangkut barang. Perekonomian bisa berputar karena mobilitas,” tegas Julius Aslan.

Untuk melakukan pembatasan ini pemerintah musti hati-hati. “Karena dampaknya bukan hanya kepada ekonomis tapi lebih luas lagi,” tambah Julius lagi.

Hanafi, pekerja kantoran sehari-hari dengan motor. Dia keberatan dengan wacana pemerintah. “Kalau mau dilarang, mobil juga. Harus adil. Kan saya juga bayar pajak,” paparnya.

Dengan mesin kecil, jauh lebih hemat bahan bakar. Apalagi mobil hanya dipakai sendirian. Terjadi pemborosan ruas jalan dan bahan bakar. “Bagaimana kalau pemikirannya dibalik. Mobil dibatasi dan beralih ke motor. Itu sembari menunggu transportasi publik yang aman dan nyaman, entah kapan?” timpal Doedi salah seorang pengendara.

Penggunaan bahan bakar pernah diulas Em-Plus pada beberapa edisi lalu. Jumlah motor yang begitu banyak, konsumsi BBM-nya jauh lebih sedikit dibanding mobil. Artinya yang sedot subsidi pemerintah justru mobil.

Soal angka pajak yang didapat oleh pemerintah DKI atau Kepolisian bukan sedikit. Angka pastinya memang tidak ada. Jika menurut Kombes Condro Kirono, saat ini sebanyak 8.087.118 unuit. Pemilik SIM motor di Jakarta sekitar 1/3 dari jumlah motor yang ada. Jadi berapa triliun dikeruk pemerintah dari kantong biker.

Asumsi saja, tiap motor bayar pajak kendaraan per tahun Rp 100 ribu. Kalikan dengan 8 juta unit. Setahun untuk pajak Rp 800 milyar. Untuk SIM 1/3 dari 8 juta sekitar 2,66 juta dikalikan Rp 75 ribu hasilnya Rp 199,5 M. Dari pajak kendaraan bermotor dan SIM saja hampir Rp 1 triliun. Belum lagi pajak pabrikan motor dan komponen pendukung. Jumlah ini tentu saja jauh di atas itu.

MOTOR Plus pernah wawancara Bambang Susantono sebelum jadi Wakil Menteri Perhubungan, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. Saat itu, pria yang menjabat Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia ini menyatakan satu-satunya solusi untuk mengatasi kemacetan tidak lain adanya sarana transportasi massal aman, murah, cepat, konsisten. “Jumlah motor makin banyak cermin dari ketidakberdayaan sarana transportasi massal,” jelasnya ketika itu.

Itu yang benar. Transportasi massal yang ada seperti busway, belum memenuhi kebutuhan biker. Murah, cepat dan mudah. Percaya deh kalau semua ini sudah diatasi dengan sendirinya pengguna motor akan beralih ke busway, dan angkutan massal lainnya.

Penulis/Foto : Hend/ Boyo, GT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar